Tak Hanya Satu Jalan
- Selasa, 30 Mei 2023
- Administrator
- 0 komentar
"Teruslah melangkah meski itu pelan karena dengan melangkah akan menjadikan kita semakin dekat dengan tujuan dan prestasi yang diinginkan."
Kalimat tersebut merupakan cerminan kisah Suharso yang inspiratif. Suharso atau yang dikenal dengan nama pena Aveus Har merupakan sastrawan sekaligus pedagang mi ayam di Wiradesa, Pekalongan. Hobi menulisnya telah menjadi saksi dan sahabat setia dalam menjalani kehidupan yang penuh teka-teki. Jiwa sastranya berhasil menuntun Harso untuk selangkah demi selangkah maju mencapai tujuannya. Kesukesesan dalam meraih berbagai penghargaan adalah bukti kerja keras dan pantang menyerah untuk selalu menggerakkan jemarinya memainkan kata serta mengolah rasa.
Semua pencapaiannya itu, bermula dari kegemaran membaca buku sejak duduk di bangku SD. Harso kecil rela tidak jajan agar uang sakunya terkumpul dan dapat digunakan untuk membeli buku atau majalah bekas. Dia juga sering mengunjungi perpustakaan kota Pekalongan setelah membantu ibunya berdagang. Berbekal pengetahuan dari membaca, melihat, dan merasakan atmosfer di lingkungannya, dia mulai mengolah rasa kemudian menuangkannya dalam rangkaian kata pada sebuah buku diary. Menulis buku diary menjadi rutinitasnya. Semakin lama Harso semakin jatuh cinta pada menulis. Dia ingin masuk lebih dalam ke dunia sastra yang penuh keindahan.
Tahun 1992 Harso yang mulai beranjak remaja melanjutkan sekolahnya di SMEA Negeri Pekalongan atau yang sekarang dikenal SMK Negeri 2 Pekalongan. Di sini, kemampuan menulisnya semakin terasah. Dia banyak mendapat inspirasi dari yang dia lihat dan rasakan. Apalagi, dia mulai mengenal cinta. Sebagai seorang remaja, Harso pun tak terlepas dari kisah asmara. Harso menaruh hati pada seorang gadis cantik, teman satu kelasnya. Rasa itu ia tuangkan ke dalam sebuah cerpen. Dia menjadikan sang pujaan hati sebagai tokoh utama dalam cerpennya.
Harso memberanikan diri mengirim cerpen enam halaman yang dibuatnya ke tim mading sekolah. Dia berharap gadis yang disukai membaca tulisannya. Ini adalah kali pertama Harso mengekspos tulisan yang ia buat. Alih-alih dibaca oleh gadis incarannya, pujian justru diberikan oleh teman-temannya. Gadis pujaannya tidak bereaksi apapun dan Harso gagal mendapatkan hati gadis pujaannya. Meskipun gagal, tetapi kegagalan itu membukakan pintu untuk Harso mengeksplore bakatnya.
Celah memang telah ada, pintu memang sudah mulai terbuka, namun hambatan dan kerikil penghalang tetap datang silih berganti menggoda tekad Harso untuk menjadi seorang penulis terkenal. Mulai dari hambatan karena keterbatasan dalam biaya, yang menjadikan Harso tak dapat melajutkan ke perguruan tinggi, hingga tulisannya yang berkali-kali ditolak oleh penerbit.
Impian Harso melanjutkan study pupus. Dia harus bekerja agar dapat membantu orang tuanya. Sambil menunggu mendapatkan pekerjaan, Harso mengirimkan cerpen ciptaannya ke media massa. Ada 112 judul cerpen yang dikirim melalui pos. Semua cerpennya itu, dia tulis menggunakan mesin ketik pinjaman dari kantor tempat ayahnya bekerja. Setelah terkirim, hasilnya begitu mengejutkan. Ternyata dari 112 cerpen yang ditulis, tak ada satu pun yang berhasil dimuat. Perasaan kecewa menyelimuti Harso. Bagaimana bisa tak ada satu pun judul cerita yang berhasil dimuat? Padahal, teman-temannya mengatakan bahwa cerpen yang dia buat layak terbit. Namun, Harso tidak mau terus larut dalam kesedihannya. Dia segera bangkit dan mengubur perasaan kecewanya. Dia bertekad untuk terus membenahi tulisannya.
Harso menyadari, bahwa yang dibutuhkannya saat itu adalah seseorang yang dekat dengan sastra, dan bersedia membimbing serta menanggapi karya sastra ciptaannya. Harso berhasil menemukan orang yang tepat, dia adalah…. tetangga sekaligus kakak kelasnya ketika SMA. Berkat bantuan dari kakak kelasnya itu, Harso mampu meningkatkan skill menulisnya.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya pada tahun 1996 salah satu cerpen ciptaannya berhasil dimuat dalam majalah remaja. Pencapaian itu membukakan pintu untuk puluhan judul cerpennya dapat dimuat.
Dalam masa merintis menjadi penulis, Harso memutuskan menikah di usia 31 tahun dan meneruskan usaha ibunya berjualan mi ayam. Tentu tak mudah bagi Harso membagi waktu antara menulis dan berjualan mi ayam. Dia mensiasatinya dengan memanfaatkan sela-sela waktu berjualan untuk tetap menciptakan sebuah karya. Saat selesai melayani pembeli, Harso menyempatkan diri untuk menyusun beberapa kalimat pada ponsel genggamnya. Terkadang, ide cemerlang tiba-tiba muncul ketika warung sedang ramai pembeli, beruntung ada sang istri yang siap siaga menggantikan Harso.
Menulis telah menjadi bagian dari diri seorang Harso. Baginya, menulis bukan hanya sekadar hobi, tetapi merupakan sebuah penyelamat hidup. Menulis telah banyak membantunya dalam menghadapi berbagai masalah yang sering kali datang tanpa permisi. Tempat dagangnya pernah akan digusur oleh pemerintah setempat. Hal itu tentu membuat Harso kebingungan. Namun, di tengah-tengah kegelisahannya, secara tak sengaja Harso melihat sebuah event cipta novel yang diadakan oleh Penerbit Bentang Pustaka dengan tema “Wanita dalam Cerita”. Harso memutuskan untuk mengikuti perlombaan tersebut dan menaruh harapan besar di sana.
Dalam event tersebut, Harso berhasil menyingkirkan 400 orang saingannya yang berasal dari seluruh Indonesia dan memperoleh juara pertama dengan novelnya yang berjudul “Flawless Hope”. Karya tersebut diterbitkan pada bulan Maret 2015 dengan judul yang telah disempurnakan, yakni “Sesungguhnya Aku”. Kejuaraan itu menjadi penghargaan pertama Harso dalam cipta novel, setelah sebelumnya memperoleh berbagai penghargaan di cipta cerpen. Melalui pencapaiannya tersebut, Harso dan keluarga kecilnya dapat membangun tempat berdagang sekaligus berteduh, yang hampir saja hilang.
Pencapaian di bidang menulis membuat Harso dikenal banyak orang, terutama orang di luar Pekalongan. Tahun 2016 Harso diundang dalam acara talk show “Hitam Putih” di Trans TV sebagai tokoh inspiratif. Beberapa lomba lain yang pernah diikuti di antaranya, sayembara novel yang diadakan oleh Penerbit Basabasi pada tahun 2019 silam. Harso mengirim hasil tulisannya yang berjudul “Forgulos” Novel ini bercerita tentang keterasingan Tuhan dengan tokoh naga-naga vuloses sang penghuni vulos. Novel tersebut berhasil membawa Harso menjadi juara pertama, mengalahkan 600 orang pesaingnya, dan berhasil terbit pada awal bulan Maret 2022.
Harso telah menjadi seorang penulis seperti yang dia impikan. Namun, dia memutuskan tetap berjualan mi ayam. Menjadi penjual mi ayam, membantunya menemukan dan mendalami karakter perempuan secara detail di samping membaca buku psikologi wanita. Hal ini dikarenakan Harso sering menjadikan perempuan sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Cara penulisan Harso yang ringan tapi mendalam dan penghayatan karakter perempuan yang detail, menjadi ciri utama karyanya.
Tak disangka, Harso pedagang mi ayam yang dipandang sebelah mata, ternyata seorang penulis yang sudah menelurkan 12 judul novel. Novel-novel tersebut di antaranya Paper Doll, Warna Merah pada Hati, Lintang, ASIBUKA! Mantra Rahasia, Pangeran Langit, Yuk Menulis Diary, Puisi dan Cerita Fiksi, Sorry that I Love You, Roller Coacter Cinta, Wanita dalam Cerita, Sejujurnya Aku, Bila Kau Kawin, Furgulos. Selain novel, ada banyak karya lainnya seperti cerpen, essay, antologi, yang telah terbit di beberapa media cetak.
Kisah Harso mengajarkan bahwa keadaan yang dianggap tidak bersahabat bukanlah alasan seseorang untuk berhenti belajar dan berkarya. Semua bergatung pada cara menyikapi keadan yang ada. Harso adalah bukti nyata, bahwa keterbatasan ekonomi bukan penghalang untuk terus berkarya. Menjadi penjual mi ayam juga bukan alasan baginya untuk tidak produktif di bidang lain, yakni sastra. Harso dapat memaksimalkan potensi, waktu dan kesempatan untuk tetap menghasilkan karya yang mengantarkannya meraih cita.
Karya : Siti Isnaini X.2